Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Rabu, 09 November 2011

Sudut Pandang: Gampang-Gampang Susah

Sudut Pandang: Gampang-Gampang Susah

Sudut pandang, Viewpoint, atau Point of View (POV), secara sederhana, adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita, dan bagaimana ia menyampaikan cerita kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita. Jadi tidak berubah-ubah sesukanya antaradegan. Ada beberapa pilihan POV:

1. POV orang pertama (aku): penulis menjadi si aku dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si aku. Penulis tidak bisa menggambarkan apa yang tidak dilihat si aku, tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan si aku. POV ini dianggap paling mudah, terutama bagi penulis pemula, karena seperti menulis diari saja. Hati-hati: Apa pun yang diketahui si aku tidak bisa dirahasiakan dari pembaca. Karena pembaca menjadi si aku.
Contoh:
Aku berlari mendaki bukit secepat mungkin. Aku harus meloloskan diri! Jantungku berdegup  kencang dan otot-otot kakiku mengejang. Sampai di puncak bukit, aku menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutiku. Kudengar ia menggerung keras. Rasanya tak mungkin aku bisa lepas darinya. Jelas sekali ia marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanku.

2. POV orang kedua (kau): sangat jarang digunakan. Penulis seperti mengamati tindak tanduk si tokoh (kau) melalui teropong, lalu menceritakan apa yang dilihatnya kepada si kau juga.
Contoh:
Kau berlari mendaki bukit secepat mungkin. Kau harus meloloskan diri! Kaurasakan jantungmu berdegup  kencang dan otot-otot kakimu mengejang. Sampai di puncak bukit, kau menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutimu. Ia menggerung keras. Tak mungkin kau bisa lepas darinya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanmu.

3. POV orang ketiga (dia/ia), subjektif, konsisten di satu tokoh sepanjang cerita. Batasannya hampir sama dengan si aku. Bedanya penulis masuk ke dalam kepala satu tokoh saja, si dia/ia, dan mengikutinya dengan konsisten. Hal-hal di luar pengatahuan si dia, tidak bisa digambarkan, seperti pikiran dan perasaan tokoh-tokoh lain. Dengan POV orang ketiga subjektif ini, karakter dan karakterisasi satu tokoh utama bisa dieksplorasi lebih dalam dan diperkuat. Hati-hati: Tidak mudah konsisten pada satu tokoh. Sering tanpa sadar penulis berpindah memasuki kepala tokoh lain. Diperlukan latihan dan pengalaman untuk menyadari perpindahan ini dan kembali ke jalurnya.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat ia butuhkan?

4. POV orang ketiga (dia/ia), subjektif, lebih dari satu tokoh. Penulis mengikuti dua atau tiga tokoh penting secara bergantian. Misalnya, ada tiga sahabat--Beno, Ilya, dan Denisa. Penulis memakai POV Beno di bab 1, Ilya di bab 2, dan Denisa di bab 3, dst. Berpindah-pindah pada segmen yang jelas. Eksplorasi tiga karakter utama pun jadi lebih kuat. Hati-hati: Tokoh minor sebaiknya tidak diberi jatah POV, karena hanya akan merampas ruang untuk karakterisasi tokoh utama. Biasanya POV seperti ini diterapkan pada novel. Jarang pada cerpen. Dalam cerpen, tokoh dan adegan terbatas, ruang gerak terbatas, lebih baik didedikasikan semaksimal mungkin untuk tokoh utama.
Contoh
(bab 1) Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat dibutuhkan? (dst mengikuti pemikiran Beno)

(bab 2) Ini desa mati. Ilya bisa merasakannya di udara. Keheningan yang aneh. Terlalu hening. Angin tak berembus. Air di palungan tak beriak sedikitpun. Ada genta angin dari kulit kerang tergantung di atap pondok terdekat. Rasanya Ilya mau memberikan semua uang di kantongnya sekarang untuk melihat genta itu berayun dan berbunyi. Ilya mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Satu-satunya bunyi kehidupan. Lalu ia melangkah. Pasir berkeresek di bawah sandalnya. Satu lagi bunyi yang membuat keheningan semakin terasa. Aaah, di mana Beno saat ia membutuhkan anak itu! (dst mengikuti pengalaman Ilya)

5. POV penulis segala tahu, playing God, omniscient. Penulis mengetahui semua kejadian, perasaan dan pemikiran semua tokoh, di semua tempat dan waktu. Sering dianggap paling mudah karena penulis jadi seperti dalang, hanya menceritakan kejadian di sana-sini. Padahal omniscient berarti juga mengetahui pemikiran dan perasaan semua tokoh. Artinya, penulis harus pandai bermanuver ketika menceritakan interaksi dua tokoh yang saling berkonflik. Bagaimana emosi dan pemikiran  dua tokoh ini ketika mereka berdialog, misalnya. Tanpa kepiawaian ini, karakterisasi tokoh-tokohnya kurang tergali, eksplorasi emosi tidak mendalam, dan akhirnya seperti menggunakan POV orang ketiga objektif.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup  kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, ia menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya.

Di belakang Beno, Gora menggerung keras. Langkahnya dipercepat. Sebentar lagi ia bisa menyusul anak itu. Keterlaluan sekali kalau makhluk sekecil itu bisa lolos darinya. Si Perkasa Gora dari  Lembah Hitam tak pernah gagal menangkap buruannya. Apalagi buruan yang telah mempermalukannya di depan sang Raja. Ketiga mata Gora masih terasa pedih akibat pasir yang dilemparkan anak itu.

Sementara itu, di jendela menara, Denisa menurunkan teropongnya. Ia tak sanggup menyaksikan. Beno mungkin pandai berdebat, tapi terbukti caranya tak berhasil. Denisa yang harus bertindak sekarang. Beno dan Ilya harus mengakui, dialah  yang benar.

Denisa berpaling kepada Raja Lembah Hitam. “Panggil Gora pulang. Lepaskan Beno,” bisiknya lemah. "Kami akan membantumu."

Mendengar itu, Sang Raja tergelak. Mata majemuknya seolah berteriak serempak, "Apa kataku!" Lalu ia menjentikkan jari. Isyarat yang akan didengar jelas oleh Gora.  (dst.)

6. POV orang ketiga objektif. Penulis hanya narator yang menceritakan peristiwa, tanpa menggambarkan perasaan atau pemikiran tokoh-tokohnya. Karakterisasi tidak dipentingkan. Tetapi ceritalah yang dibuat menarik sehingga pembaca ingat pada tokoh-tokohnya. Contohnya adalah dongeng-dongeng tradisional dengan tokoh hitam-putih. Sudah ditentukan oleh penulis dari awal, siapa yang baik siapa yang jahat melalui deskripsi singkat, bukan melalui perkembangan dramatis.

7. POV campuran. Lazimnya, novel menggunakan sudut pandang tunggal, orang kesatu atau ketiga. Tapi banyak penulis (terutama sastra), menggunakan campuran keduanya. Untuk satu tokoh, penulis konsisten menggunakan aku. Lalu untuk kejadian-kejadian yang si aku tidak hadir di sana, penulis menggunakan POV orang ketiga omniscient atau terbatas. James Patterson sering menggunakan POV campuran ini dalam novel-novelnya, antara lain serial Maximum Ride.

Semoga terasa bedanya ya. Silakan bereksperimen.
Seperti aku bereksperimen dengan contoh-contoh di atas, yang sebagian aku karang dadakan. Bukan diambil dari novelku yang sudah terbit.

Salam kreatif
Ary Nilandari

Cerita di Balik Layar Dongeng Oriental

Cerita di Balik Layar Dongeng Oriental

Zaman dahulu kala, eh, tiga atau empat tahun yang lalu, di sebuah milis, terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang hak cipta. Bagaimana hukumnya menulis cerita rakyat? Ada yang bilang itu salah dan melanggar hak cipta dengan berbagai alasannya.
Saya dan teh Tethy, memilih yang mudah dan menguntungkan saja. Ups! Nggak, tentu saja setelah riset juga. Intinya, boleh-boleh saja cerita ulang cerita rakyat.

Akhirnya, kita pun sepakat membuat cerita rakyat Jepang.
Pertama, survey penerbit! Kira-kira mana yang cocok untuk dikirimi?
Kami menemukan sebuah penerbit yang banyak menerbitkan cerita rakyat Indonesia, dengan bentuk pictorial book, satu judul satu buku, masing-masing 24 halaman. Itulah yang kemudian kami kerjakan.

Kami termasuk agak pemilih dalam menulis ini, juga berusaha agar cerita 'menganak banget'. Ya, cerita rakyat memang sarat dengan kekerasan, temanya pun banyak yang bukan untuk anak-anak. Akhirnya, terkumpullah 20 cerita rakyat. Semua saya print dan kirim ke penerbit. Lumayan ngemodal juga, biasanya saya jarang kirim naskah dalam bentuk print out. Tapi, untuk naskah ini, saya pede banget bakalan diterbitin ma penerbit ini. Mikirnya, 'ah, pasti balik modal-lah' xixixix...

Eh, nunggu sebulan, dua bulan, sampai hampir setahun pun tiada kabar.
Pertama, menanyakan dulu. Tanya lewat email yang tercantum di blog penerbit. Tiada jawaban. Beberapa bulan kemudian, ya tarik aja...lewat email itu juga hihih..
(Saya lupa,apakah waktu itu teh Tethy menanyakan via telpon, yak? kayaknya iya, ya...)

Naskah pun dalam status 'bebas'.
Begitu ada sebuah lowongan dari penerbit lain, cepet-cepet deh naskah itu dimasukin.
Belum berjodoh lagi!
Kali ini ada email penolakan (betapa sebuah penolakan pun sangat berharga ya, dibandingkan tiada kabar sama sekali).
Setelah itu, entah berapa lagi penerbit yang kami tawari.

Yah, begitulah nasib cerita rakyat Jepang ini. Bukan naskah instant. Hampir tiga tiga tahun prosesnya. sampai akhirnya berjodoh di Indria Pustaka dengan berbagai revisi. Sebelumnya hanya cerita rakyat Jepang, ditambah Korea dan China. Semula pictorial book, menjadi cerita pendek biasa :)

Begitu ceritanya...
Oke, deh. Minta doanya aja, moga manfaat dan laris manisss, royalti sampai ke penulisss...:d

Judul : Dongeng Oriental. Kisah Kebaikan Hati dari Negeri Jepang, Cina, dan Korea.
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Aan Wulandari
Penerbit: Indria Pustaka, grup Puspa Swara
Penyunting: Tribuana Tunggal Sukma
Perancang Sampul: Zariyal
Penata letak: Puthut Tri Sudarmanto
Ilustrasi isi dan sampul: Mono
iv + 142 halaman ; 19 x 23 cm
Harga: Rp58.900,00

SYARAT MENERBITKAN ULANG

SYARAT MENERBITKAN ULANG

Ary Nilandari(menjawab pertanyaan Beby Haryanti Dewi)

DARI SISI LEGAL

Apakah sebelumnya diterbitkan oleh penerbit atau indi? Kalau oleh penerbit, tentunya ada perjanjiannya. Pastikan masa eksploitasinya memang sudah akan berakhir, niat terminasi kontrak biasanya diajukan beberapa bulan sebelumnya, sehingga penerbit ybs belum melakukan proses cetak ulang. Kalau hak itu sudah kembali ke penulis, kita bebas mengajukannya ke penerbit lain. Mungkin dengan revisi terlebih dulu dengan penambahan dan pembaruan. Penerbit lain tentunya enggan menerima naskah yang sudah "diperah" habis.

Kalau masih dalam masa ekploitasi satu penerbit, atau kita masih mau melanjutkan kontrak dengan mereka, biasanya ada pasal yang mewajibkan secara berkala kedua pihak membuat revisi seperlunya sebelum cetak ulang.  Ajukan saja proposal pembaruan atau remake, lengkap dengan pertimbangan selling point dsb.

DARI SISI ISI BUKU

Sebuah naskah layak diterbitkan ulang jika buku itu sendiri tentu saja masih dirasa up to date, masih diperlukan, ada generasi baru pembaca yang bisa disasar. Mungkin saja karena suatu hal buku tsb waktu terbit pertama kali kurang promosi atau muncul pada waktu yang salah sehingga tenggelam, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk republish dengan wajah baru.

Kalau buku itu berupa novel, bikin sekalian cerita baru sekuelnya. Jadi waktu mengajukan ke penerbit baru, langsung dua buku :)

Ada kalanya novel lawas kita terbit pada timing yang salah dan mendapatkan treatment yang kurang memuaskan sehingga nggak nyampe ke sasaran. Kan sayang banget tuh. Yang seperti ini layak diperjuangkan untuk remade dan republished.

Menulis Fabel Yuk

Menulis Fabel yuk?

“Kayaknya, naskah fabel udah nggak diminati lagi ya?”
“Aku punya naskah fabel, tapi ditolak melulu ama penerbit. Apa sudah nggak jamannya bikin fabel?”

Sering berpikiran begitu? Jika ya, jawabannya adalah:
Fabel masih diminati kok. Rasanya semua penerbit mau mereview naskah fabel dari kita. Jika naskah kita ditolak, selain faktor X yang datang dari luar, mungkin juga ada yang “salah” dalam naskah kita?
Salah, bukan berarti jelek.
Salah,bukan berarti totally wrong.
Salah, mungkin artinya fabel kita perlu sedikit dipoles lagi supaya lebih kinclong J

Pertanyaannya:
Ah, fabel itu kan seperti dongeng-dongeng lainnya? Hanya saja, tokohnya diganti binatang.
Cerita realistis bisa dijadikan fabel juga kan? Tokohnya (lagi-lagi) diganti binatang. Jadi si binatang bisa naik sepeda, bisa gosok gigi, bahkan bisa menjahit dan memasak?
Betul.  Namanya dongeng, apapun bisa kita tuliskan dalam fabel ini. Tak ada yang menyalahkan kok.

Lalu, kenapa kok fabel saya ditolak melulu? Padahal fabel yang saya tulis sarat dengan ajaran kebaikan lho.

Saya bukan ahli menulis fabel. Lebih tepatnya lagi, saya juga masih belajar menulis.
Hanya saja, kebetulan saya memang banyak menggunakan tokoh binatang dalam cerita-cerita yang saya tulis. Dan masterpiecenya adalah “Dongeng Fantastis Dunia Binatang” yang berisi 23 fabel. Udah pada beli? Belum? Beli dong..

Saya ada resep rahasia dalam menulis cerita, tak hanya fabel. Apa sih resepnya? Berusahalah untuk memandang atau melihat satu masalah dari sisi yang lain. Masalah apapun itu!
Jadi, kalau teman-teman melihat benda berwarna hijau, jangan cepat percaya dan mengamini bahwa itu hijau doang. Bisa saja warna hijau itu berasal dari warna kuning dan biru yang bertemu? Atau sebenarnya ada warna lain di balik hijau itu? Kebetulan ada tukang cat lewat dan iseng menyapukan cat berwarna hijau?
Hihi, paham nggak sih maksud saya? Mbulet ya? Maklum, efek kuliah di Filsafat J kalo nggak mbulet nggak afdol.

Saya kasih contoh saja deh. Contohnya saya ambil dari cerita saya yang berjudul “Lomba Lari”. Cerita ini terinspirasi dari cerita lawas, tentang kelinci dan kura-kura yang lomba lari. Kura-kura lalu membohongi kelinci dengan mengajak temannya ikut berlari. Kelinci pun kalah, kura-kura menang.
Selama ini, yang kita tahu, kura-kura menang dan kita beranggapan bahwa kecerdikan itu bisa mengalahkan kesombongan kan?
Saya berpikir ulang. No, saya nggak suka kura-kura berbohong. Dan saya nggak mau bikin kelinci yang sombong. Kelinci memang pernah menghina kura-kura sebagai mahluk yang lambat, tapi kelinci sudah minta maaf.
Saya nggak mau kura-kura sukses berbohong. Saya lalu membuat kura-kura ketahuan bohongnya. Caranya? Ada di buku saya, hihi.
Endingnya bagaimana? Kelinci marah karena dibohongi kura-kura? Seharusnya begitu kan? Seharusnya dia kembali mengejek kura-kura sebagai mahluk lambat kan?
Tapi tidak, saya tidak mau membuat ending kelinci mempermalukan kura-kura.

Intinya, sebelum membuat suatu cerita, bacalah dulu banyak cerita untuk melatih kita menciptakan unusual plot and ending.
Jangan beralasan: Saya tinggal di desa, gak ada toko buku. Saya punya anak kecil, susah nyari waktu untuk baca. Saya ndak punya pembantu, hidup saya bak upik abu. Saya keadaan ekonominya masih kembang kempis, ga mampu beli buku.
Hmm..mampu onlen tiap hari, pasti mampu browsing juga kan? Jangan FBan melulu (*gampar diri sendiri)
Baca, browsing, pelajari, amati, cermati, dan eksekusi!
Rajin membaca akan tahu, oh cerita-cerita yang ada itu biasanya gini endingnya. Oh kalo ada melakukan kejahatan, biasanya ketahuan, terus dihukum bla..bla. Oh, kalo ada anak baik maka akan mendapatkan bla..bla.
Lalu, pikirkanlah sesuatu yang beda. Pencuri, tentunya tetap mendapat hukuman. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana proses ketahuannya? Bagaimana sikapnya setelah ketahuan/dihukum? Mari kita berkreativitas dengan alam pikiran kita. Jangan mau bikin cerita yang “biasa-biasa” saja.

Eh, sepertinya saya melenceng keluar dari fabel ya? Hehe, tapi percayalah..resep rahasia di atas itu berlaku untuk cerita fabel juga kok.
Beberapa hal yang bisa saya bagi berdasarkan pengalaman saat saya menulis fabel adalah:
  1. Ada penerbit yang mau-mau saja menerima binatang yang bisa act as human being. Bisa gosok gigi, bisa menari, bisa pake baju princess dll. Untuk  jenis ini, kita bebas mau bikin binatang A bisa ngapain aja. Boleh-boleh saja gajah bisa terbang, atau punuk unta bisa buat lemari baju. Siapa takut?
  2. Ada penerbit yang maunya fabel itu tetap stick to karakter asli binatangnya. Misalnya, singa itu ya binatang buas berkaki empat. Jangan bikin cerita singa jadi anak manis pake rok dan pita, lalu doyan makan daun singkong.
  3. Tokoh-tokoh dalam fabel boleh pake nama, boleh juga tidak. Ada yang bilang, anak-anak bakal suka kalo dikasi nama, namun ada juga yang bilang pemberian nama hanya akan menyulitkan anak-anak mengingat siapa tokoh-tokohnya. Jadi, monggo deh mana yang mau dipilih.
  4. Tentukan arah fabel yang mau kalian tulis. Apakah mau berbagi informasi/pengetahuan? Misalnya tentang cicak yang memutus ekornya?  Atau bunglon yang berubah warna? Saran saya, lakukan riset sebelum menulis. Fabel informatif kayak gini, kalo ceritanya ngawur ya bikin ilfil.
  5. Untuk tahu penerbit X maunya fabel yang kayak gimana, atau penerbit Y seleranya gimana? Rajin nengokin buku-buku terbitan mereka deh. Biasanya, kebaca kok kalo penerbit X ini sukanya nerbitin buku yang informatif/berbau-bau pengetahuan. Atau penerbit Y sukanya nerbitin dongeng-dongeng.  Lalu, colek-colek deh para editornya.
  6. Ada yang mau nambahin? Tolooonggg….saya belum jadi ahli fabel! Sekian dan terima kasih. Semoga ini menjadi SESUATU ya? Alhamdullilah..beberapa orang bilang kalo cerita-cerita saya out of the box. Alhamdullilah...semoga jadi sesuatu *jadi rumah, mobil, emas batangan dll

Komunitas