Pages

Minggu, 09 Agustus 2020

Pesan dari Nicholas Saputra, Duta UNICEF untuk Anak-anak Indonesia di Masa Pandemi COVID-19


Dua bulan pertama saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, aku nggak semangat ngapa-ngapain. Pandemi ini telah mengubah banyak rencana yang aku susun di awal tahun 2020. Pengin banyak baca, pengin banyak nulis artikel traveling, pengin banyak nonton dan review film dan drama, hore-hore di Kedutaan Korea Selatan untuk ngeramein event Sahabat Korea 2020, dan pengin lebih banyak jalan-jalan keluar kota. Harusnya, saat lebih banyak waktu luang, aku bisa lebih produktif. Logikanya sih gitu ya. Tapi nyatanya nggak.

Aku ngrasa ada yang aneh. Aku ngrasa nggak tahu musti ngapain. Kalau aku nulis di blog, aku khawatir tulisanku lebih banyak bernada kekhawatiran yang sebenarnya makin bikin panik. Itu sebabnya aku nulis cuma buat urusan kerjaan. Bahkan aku udah ngedraft beberapa artikel buat ditulis di blog pun belum aku selesaikan karena mood yang ambyar. Mood yang naik turun nggak jelas. Nyelesein suatu pekerjaan rasanya butuh effort yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Ngerasa nggak sih kalau kita dipaksa berubah menjadi diri yang bukan kita? Beradaptasi dengan cepat  karena harus berbenah di sana sini? Aku ngerasain denial, harus menerima kenyataan ada hal-hal yang berubah dan itu bikin aku lumayan sulit adaptasi.

#DiRumahAja, Adaptasi Situasi Saat Pandemi COVID-19

Saat pertengahan bulan Maret, di kota Tegal udah mulai ada lockdown lokal, atau yang disebut karantina wilayah. Sejak Maret sampai Juli, aku nggak keluar kota. Definisi di rumah aja beneran aku jalani. Bahkan paketan yang harus dikirim ke Padang baru bisa aku titipin ke temanku, Nida karena dia lewat kantor expedisi.

Aku pun baru nyadar kupon undian yang aku dapetin di awal bulan Maret udah nggak bisa kuisi karena tiba-tiba waktu sudah berpindah ke bulan pengundian, Juli. Kaget? Iya, hahaha. Tiba-tiba nyadar kok aku udah selama itu nggak pernah keluar rumah buat belanja bulanan di Yogya Toserba.

Dulu aku punya rutinitas belanja bulanan sebulan sekali di Yogya Toserba atau Rita Mall. Sekarang, semua belanjaan kubeli di warung deket rumah, baik Indomaret maupun di warung tetangga. Selain itu aku nggak bisa ke bioskop buat nonton film, makan di foodcourt, atau nyari buku di Gramedia. Sekitaran akhir Juni-Juli aku baru berani keluar rumah yang agak jauhan. Itu pun bisa dihitung jari, seperti waktu ke ATM Mandiri buat update saldo emoney, ambil hadiah kuis dari Gramedia, dan belanja buku diskon Gramedia juga. Selain itu, aku harus melewati serangkaian protokol kesehatan yang wajib dilewati sebelum masuk mall, antara lain : cek suhu tubuh dengan termometer tembak dan masuk bilik disinfektan. Wew, beneran ribet ya.

Pandemi COVID-19 Bikin Overthinking Sampai Pagi , Mood Swing dan Burn Out!

Pandemi COVID-19 ini membuat aku lebih banyak terjaga di malam hari dengan perasaan yang was-was. Kadang ngrasain overthinking sampai pagi. Kadang mood swing banget sampe sering misuh nggak jelas di story ig atau di twitter. Padahal, rasanya nggak ada yang terlalu bikin aku marah. Ya ada sih, kayak kasusnya tetangga sebelah yang rese, dan beberapa hal yang bikin aku kurang sreg juga. Tapi suasananya jauh berbeda dibanding dulu.

Dulu waktu tahun 2013, pas aku abis patah hati, aku masih bisa menjaga kewarasan dan moodku dengan ngerjain resensi buku dan ngisi blog buku sampai satu tahun. Rutinitas itu aku kerjain tiap hari. Aku ngerasa masih memegang kendali hidupku dengan bikin rutinitas membaca dan mereview buku-buku itu. Aku masih bisa produktif nulis di blog dan mengalihkan pusat perhatianku pada hal yang bikin aku lebih bahagia. Aku bisa move up lebih cepat dengan membuat rutinitas itu.

Tapi... pandemi COVID-19 ini sangat berbeda dari kondisi tak ideal yang dulu pernah aku alami. Beragam pertanyaan selalu muncul di kepalaku setiap kali malam menjelang. Seperti pertanyaan : apakah aku masih hidup esok hari? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Apakah uang tabunganku cukup untuk hidup selama masa pandemi ini berlangsung? Apakah adikku di  Nagasaki Jepang dan Bandung baik-baik saja? Apakah gaji mereka masih dibayar penuh atau justru pekerjaan dihentikan sementara? Apakah ortuku harus tetap masuk ke sekolah meski zonanya sudah hijau?

Ya... Hal itulah yang bikin aku was-was tiap hari dan kemudian melupakan keinginanku untuk menulis artikel seperti hari-hari normal sebelum COVID-19 ada di Indonesia.

talk to your self - self love

Denial di Masa Pandemi? Solusinya gimana?

Kau tahu rasanya seperti apa saat ada di situasi yang bikin panik? Ada rasa yang menghimpit di dada, ada banyak pikiran yang melintas di kepala setiap hari. Pengin tidur cepet tapi rasanya was-was. Akhirnya kebangun sampai pagi, tapi nggak minat ngapa-ngapain. Lebih tepatnya semua hal yang aku kerjakan serasa nggak optimal. Aku nulis artikel nggak selesai. Aku baca buku nggak selesai-selesai. Rasanya serba nanggung, tapi aku nggak tahu kenapa aku gitu. Sampai kemudian aku menemukan video Nicholas Saputra yang bahas tentang hal ini di video UNICEF.

 

“COVID-19 telah mempengaruhi kita dalam banyak hal. Harus tetap di rumah, tidak bisa ke sekolah, melihat orangtua kehilangan pekerjaan atau sakit, tidak bisa bertemu teman-teman, atau melakukan banyak kegiatan yang kita suka.

Banyak dari kita merasa tidak berdaya, sehingga menjadi khawatir, sedih, kecewa, bahkan marah. Sangat wajar jika kita mengalami perasaan-perasaan seperti itu. Jadi, jangan abaikan perasaanmu, terutama jika kamu merasa tidak nyaman.

Mengalami perasaan sedih dan kecewa itu wajar. Jadi penting untuk menerima dan merasakannya. Karena itu akan membantumu untuk merasa lebih baik.

Tetap lakukan kegiatan rutin seperti mengerjakan tugas sekolah, berolahraga, dan melakukan hal-hal yang kamu sukai di rumah.

Kita akan merasa lebih baik jika kita berkomunikasi dengan orang-orang yang kita cintai. Bisa juga melalui telepon, atau membantu teman dengan pekerjaan rumah mereka secara online, dan membantu orang tua di rumah.

Namun, jika kamu benar-benar merasa sedih, takut, dan khawatir, dan perasaan ini mengganggu aktivitasmu, apalagi sampai timbul keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, segera minta pertolongan dari orang-orang yang kamu percaya ; misalnya : kawan baikmu, saudara, orang tua, atau tenaga kesehatan. Apabila kamu butuh layanan konsultasi, kamu bisa hubngi layanan Sejiwa di nomor 119 ekstensi 8 atau telepon Pelayanan Sosial Anak di 1 500 771“

 

 

Rasa cemas dan khawatir yang kualami ternyata juga dialami oleh orang lain. Hanya saja, ada yang segera sadar dan merasakannya, lalu mengakui perasaan itu memang nyata adanya. Tidak denial. Namun, dua bulan pertama saat Pandemi ini masuk ke Indonesia, aku merasakan hal yang dialami juga oleh orang lain. Kebingungan, kekhawatiran, rasa takut, dll. Sesuatu yang membuat aku merasa aku tak memegang kendali diriku sendiri. Mau pergi was-was, mau kedatangan tamu langsung rungsing. Padahal di kondisi normal hal itu biasa aja. Ya tingga dijalani saja. Tapi semua berubah.

Saat awal pemberitaan pandemi, kita disergap rasa cemas hinga menjadi mudah panik. Kita menganggap orang lain sebagai inang virus sehingga harus dijauhi. Pergaulan mulai berjarak. Duduk berjauhan, ngobrol harus hati-hati agar tidak mengeluarkan droplet pada wajah orang lain. Apalagi sejak ada lockdown di kota Tegal, saat aku bertemu dengan saudara aja rasanya nggak sebebas dulu. Aku sampe harus negur sepupuku biar aku nggak dipeluk-peluk karena biasanya kan kalau ketemu pasti salaman dan cipika cipiki. Demi kesehatan bersama, jarak harus memisahkan kita.

Aku baru sadar apa yang dikatakan Nicholas Saputra dalam video UNICEF itu benar. Mengalami rasa sedih dan kecewa itu wajar, yang kita lakukan adalah menerima perasaan itu dan merasakannya. Tidak lagi denial. Tidak lagi menyangkal bahwa COVID itu tidak nyata alias hoax atau konspirasi.

Sejak saat itu, di bulan Juni-Agustus, aku sudah mulai rajin mengisi waktu dengan rutinitas baru. Seperti ikut kelas webinar baik di zoom maupun google meet, berkebun/ gardening, membaca buku, mereview buku juga mulai menikmati kebersamaan dengan keluarga. Meskipun awalnya rasanya aneh, dan harus belajar adaptasi, ternyata perubahan sekecil itu memang harus diupayakan oleh kita sendiri.

Tujuannya apa? Agar kita bisa mulai memegang kendali hidup kita lagi. Aku pun mulai mengurangi intensitas membaca berita tentang COVID-19, meskipun ya kadang masih baca dikit yang lewat di timeline. Tapi nggak sesering seperti saat awal pandemi. Yang jelas, aku mulai bisa mengatur ritme hidupku lagi.

Nah... Mungkin juga kamu pun merasakan yang sama sepertiku? Bukan hanya anak-anak yang mengalami dampak pandemi dan harus bersekolah daring, tapi orang dewasa seperti kita pun harus mulai belajar beradaptasi dengan perubahan yang makin cepat dan bergegas. Semakin cepat adaptasi, semakin cepat kita merasa kenyamanan lagi di tengah situasi yang belum normal itu.

Nikmatilah hal-hal yang bisa kita jaga dan syukuri, karena hidup sejatinya memberi kita keberlimpahan rezeki yang sudah Tuhan beri sesuai porsinya. Yakini pandemi ini akan segera usai dan hidup kita akan normal kembali. Tetap jaga kesehatan yaa! See you next post! ;)


doc : pic by pinterest.com dan https://www.okchicas.com/wp-content/uploads/2019/05/fondos-bonitos.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)