Pages

Minggu, 16 Desember 2018

Merawat Kenangan

Merawat Kenangan

Tahun ini adalah tahun yang cukup berat bagi saya karena serasa naik roller coaster. Naik turunnya mood nggak terduga, bikin saya merasa sudah bukan waktunya lagi mengumbar emosi, karena satu dan lain hal.



Pernah suatu hari saya berpikir, apa hal ini yang bikin saya ngerasa sedikit mati rasa ya?

Tempo hari, awal bulan, pakdhe saya meninggal karena sakit. Udah lama banget sakitnya, semacam hilang ingatan 2 tahunan ini. Pernah menghilang dari rumah di slawi selama 3 harian, lalu akhirnya ditemukan orang.

Sebelumnya pernah menghilang juga di Jakarta dan dikira sudah meninggal. Ternyata ditemukan di rumah sakit dalam kondisi hilang ingatan dengan tubuh kurusnya yang tak terurus. Lalu akhirnya bapak membawanya untuk pulang ke Slawi.

Saat mendengar kabar berita kematiannya, perasaan saya entah. Saya nggak bisa menangis. Yang ada hanyalah perasaan tertahan seperti duka yang sengaja disimpan sendiri.

Malam hari menjelang tidur saya terpaksa mengoleskan minyak aromatik ke pelipis dan dada agar saya bisa tidur nyenyak tanpa banyak pikiran dan dada tertekan.

Saya bisa tidur malam itu, dan paginya tubuh saya membaik. Tidak ada lagi rasa tertekan di dada kanan saya. Tapi perasaan ganjil yang menyergap justru semakin aneh.

Saya masih juga belum bisa menangis. Saya merasa ini sudah waktunya pakdhe meninggal. Jadi buat apa menangis? Mungkin ini yang terbaik baginya.

Di rumah Slawi, saya mengambil air wudhu, lalu bertanya pada adek, kenapa nggak ada yang ngaji? Kata adek sudah tadi malam dan pagi.

Karena saya melihat nggak ada yang ngaji, saya pun mengambil al quran dari dalam tas, lalu melantunkan ayat demi ayat dalam surat Yaasin untuk almarhum.

Menjelang siang, orang-orang bergegas ke pemakaman, saya pun yang awalnya tertinggal di belakang langsung berlari agar tidak ketinggalan rombongan.

Ya... Maklum, sampai saat ini saya nggak terlalu hafal jalan menuju pemakaman di slawi. Meskipun tiap lebaran kami selalu mengunjungi makam simbah dan keluarga yang sudah meninggal.

Baru saat sampai di pemakaman, itu kali pertama saya mengikuti prosesi pemakaman seseorang dan melihatnya dikubur langsung. Dari mulai awal hingga akhir saat jasad dikuburkan, hingga gundukan tanah tercipta, lalu seseorang menyuruh untuk menaburkan bunga di atas tanah itu.

Biasanya karena takut teringat tentang segala hal berhubungan dengan pemakaman, saya memalingkan wajah ke arah lain. Tidak ke arah jenazah, tapi kali ini tidak. Saya melihat dari awal hingga akhir, sesuatu yang dulu saya takutkan.

Saat itulah, baru saya bisa menangis. Mengingat bagaimana hidup beliau selama ini hingga akhirnya meninggal. Bagaimana pakdhe memiliki beragam masalah dan bagaimana akhir hidupnya.

Saya pun mengingat kebaikan hatinya yang pernah memberikan banyak kemudahan selama saya ada di rumahnya. Menemani menjahit tas untuk pertama kalinya, meski saya mematahkan dua jarum mesin jahit,  beliau tak marah. Justru senang karena keponakannya mau belajar menjahit.

Ada banyak kesedihan yang baru saya sadari di pemakaman. Betapa ternyata saya banyak menyimpannya sendiri. Hingga kemudian isak tangis itu pecah, sedikit demi sedikit saya tahan karena tahu hal itu akan memberatkan almarhum.

Hari ini ketika saya mengingatnya lagi, saya paham mengapa saat kita kehilangan seseorang yang dicintai sulit untuk melupakan kenangannya. Karena meski raga sudah tidak ada, tapi kebaikannya pernah singgah dalam hati. Meski tak lagi bersua, saya tahu suatu saat saya pun akan menyusulnya, entah kapan.

Ya... Semoga saya bisa meninggal dalam keadaan sebaik-baiknya. Husnul khatimah. Aamiin.

Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagi pakdhe. Allahumafurlahu warhamhu waafihi wa'fuanhu. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)