Pages

Senin, 05 Maret 2018

[Flash Fiction] Someday


[Flash Fiction]  Someday

Suatu hari di malam berangin, gerimis turun perlahan membasahi aspal jalanan. Semakin kencang suara angin, semakin banyak air mengalir hingga membiaskan suara dalam percakapan malam itu. Dua orang perempuan sedang duduk menanti makan malam yang dipesan. Yang satu merengut karena sedang tidak mood makan apapun, yang satu memilih memainkan smartphone di tangannya.


Sesaat kemudian, sang pemilik warung menyajikan pesanan makanan dan segelas es jeruk di meja makan. Keduanya terdiam lama, hingga lelaki itu pergi menjauh kembali ke dalam warung. Percakapan pun dimulai.

“Mbak, gimana ya...” , suaranya menggantung, memikirkan apa yang hendak diucapkan lagi.

“Gimana kenapa?”, perempuan itu terheran karena intonasi suaranya berubah. Wajah di hadapannya  tidak semanis saat berangkat tadi. Seperti ada yang ditahan sekian lamanya.

“Kenapa pas aku udah jomblo dua tahun, malah nggak ada orang yang datang. Yang bikin jatuh hati.”

“Hmm...”

“Ya, udah dua tahun. Udah ikhlas aja sama yang dulu nggak jadi. Tapi setelah itu, kenapa malah susah dapat jodohnya.”

“Kok sama sih? Tapi aku malah empat tahun. Hahaha...”

Perempuan itu menertawakan dirinya sendiri, kebodohannya, masa lalunya. Langit hari itu seakan berkonspirasi untuk mempermainkan suasana hatinya saat itu.

rain (doc : pinterest.com)

Percikan suara air hujan semakin intens menetes di jalanan. Hujan seolah diguyurkan sebanyak air di lautan, dari atas langit hingga tumpah ke bumi. Aroma tanah basah menyelimuti. Sungguh, menangis saat itu pun orang tidak akan tahu, saking kencangnya suara air jatuh di jalanan seberang warung.

“Ya gimana. Capek. Ngerasa susah buat kenalan lagi sama orang baru.” Perempuan di depannya berhenti bicara. Mukanya kusut, hingga ia menelungkupkan wajahnya dan bersedekap di depan meja.
 
“Gampang lho, tinggal kenalan aja. Ajakin ngobrol orang baru, nimbrung kalau ada event apapun, memperbanyak jejaring pertemanan baru.”

Perempuan itu menyendok makanannya sembari menerawang ke langit-langit warung. Temaram lampu memberikan nuansa syahdu malam itu. Hujan masih turun perlahan, semakin deras dan membuat genangan di beberapa sudut kota. Di seberang jalan orang-orang lalu lalang memaksakan diri menerabas hujan yang tak kunjung berhenti.

Sesungguhnya nasihat itu untuk dirinya sendiri. Berapa lama waktu terlewat sampai kini ia masih sering sulit membuka hati. Membuka diri pada orang baru. Orang asing yang mungkin saja bisa ia jadikan teman bicara. Membahas banyak hal hingga kemudian mereka saling percaya satu sama lain. Tapi malam itu, ia kembali merenung. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk menyembuhkan luka. Patah hatinya terlalu lama.

“Di kotamu nggak ada yang bisa diajakin kenalan? Si A, si B, mungkin?”

“Nggak tahu, kurang sreg aja.”

Perempuan di hadapannya bisa saja berbicara panjang saat itu, tapi ia lebih memilih diam. Perempuan itu pun menawarinya mencicipi makanannya, namun hanya disendoknya sesekali. Lalu ia tak berminat lagi. Ia pun berniat menghabiskan makanannya. Lalu, ia mengangkat gelas dan menyeruput es teh yang gelasnya sudah berembun. Sisa air di tepi gelas tersibak lalu menetes hingga jatuh ke lantai. Saat itu ia baru sadar sudah melamun saat menyelesaikan minumannya.

“Bukannya memang begitu ya? Sudah terlalu lama sendiri. Bikin orang sulit membuka hati.”
“Iya, tapi capek. Yang lain udah pada nikah, aku belum.”

Perempuan itu tertegun.

“Padahal nikah kan bukan cepet atau nggaknya ya. Kita nggak pernah tahu kapan waktu yang tepat. Nikah bukan karena didesak orang tua atau lingkungan.Tapi karena udah siap.”

Perempuan itu sadar bahwa nasihat itu sebenarnya pun untuk dirinya sendiri. Waktu empat tahun membuatnya terlena dengan anggapan bahwa tidak ada yang akan menanyainya perihal kapan akan menikah. Menikah bukan perkara cepat atau lambat. Tapi melihat kenyataan di depan matanya, ia kembali paham bahwa kekhawatiran itu perlu. Bukan, bukan untuk membuat gelisah. Tapi untuk mengingatkan diri agar tidak berlama-lama dalam kesedihan. Agar tak lagi menangisi seseorang yang tak akan pernah kembali. Karena takdir sudah di persimpangan. Dan hidup harus terus berjalan. Bagaimana pun caranya.

Dua perempuan itu bersiap kembali ke penginapan. Menyisakan perasaan yang entah. Awan gelap menyelimuti langit malam itu. Air hujan masih tersisa, namun mereka bersiap menyambut hujan yang datang. Meskipun harus menerabasnya di tengah kemacetan kota.

Mungkin begitu seharusnya hidup. Seberat apapun kesedihan yang ada di depan mata, semestinya harus terus diterjang agar masalah segera selesai. Karena hujan pasti reda, entah kapan. Dan kesedihan pun akan menghilang perlahan.  

Tegal, 5 Maret 2018, 23:37




2 komentar:

  1. yaampuun. ku terharuuuu. Ini flash fiction apa fiction wkwkwkwwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. jadi apa gerangan yang bikin galau? Fiction loh ini, sha :P

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)