Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Sabtu, 23 November 2013

Resensi Buku : Jendela Dua Mata

Jendela Dua Mata
Resensi Buku : Jendela Dua Mata

Biodata Buku:
Judul Buku    : Jendela Dua Mata (Pemenang Cerpen Pilihan UNSA #1)
Penulis           : Hermawan W. Saputra, dkk
Penerbit         : deKa Publishing
Tahun terbit  : Maret 2013
Halaman         : 138
ISBN               : 978-602-7915-14-5

Sinopsis :
Kita layak memberi apresiasi kepada para penulis kumpulan cerpen ini. Semoga buku kumpulan cerpen ini pun memberi  nilai bagi dunia. –Bamby Cahyadi

Membaca buku ini, rasanya seperti mampir di sebuah galeri yang di dalamnya terpajang aneka karya dalam berbagai bentuk dan warna yang berbeda. Cerita-cerita dala buku ini lebih dari cukup untuk berelaksasi.  –Mashdar Zainal

Dibandingkan dengan buku kumpulan cerita yang menumpuk di toko buku, yang hanya berisi haha-hihi dan absurditas, kisah dalam buku ini tentu lebih layak bertengger di sana, dan diberi label : Must Read! –Mataharitimoer

Resensi Buku :

Buku kumpulan cerpen hasil lomba di sebuah grup kepenulisan bernama UNSA ini merupakan sebuah apresiasi tertinggi bagi para membernya. Kumcer yang berisi hasil seleksi cerpen yang menang setiap bulan itu akhirnya diterbitkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh 12 penulis muda. Masing-masing menuliskan dengan baik bagaimana sastra yang bisa memrepresentasikan kehidupan sosial di sekitar mereka. Sastra digunakan sebagai kritik sosial, seperti yang ditulis dalam cerpen berjudul Jendela Dua Mata.

Kali ini penulisnya, Hermawan, ingin mengungkapkan bagaimana perasaan sebagai bu Marta yang biasa dipanggil bu Mata oleh muridnya. Bu Mata seorang akuntan yang menjadi kepala sekolah.  Ada kalimat yang menunjukkan kritik sosial yang saya maksud tadi :

“Menurutku, akuntan hanya bisa menghitung tapi tak bisa mengatur. Hari ini akulah ibu Marta, dan Sartini adalah jiwanya. Ada beban berat kali ini. Kelulusan anak muridku di ujung kubangan.  Dan akulah penggalinya. Jika terlalu dalam, punahlah mereka. Mereka harus ujian di kota, karena SD itu tak mendapat kepercayaan, atau apalah alasannya. Sehingganya aku harus membenahi anak muridku. Baju lusuhnya, mental dan yang terpenting kendaraan. Huh, mana mungkin mereka naik gerobak sapi? Sungguh.”

Kritik sosial yang ingin disuarakan adalah bahwa ketika sebuah tugas diembankan kepada yang tidak ahlinya seperti seorang akuntan yang ditunjuk sebagai seorang kepala sekolah, maka akan terjadi kekacauan. Juga tentang ujian akhir sekolah yang kerap kali harus dilakukan di kota dan karena itu muridnya harus nebeng ujian di sekolah kota yang dipercaya dinas. Inilah yang disebut kritik sosial dalam sebuah karya sastra. Meski agak rumit untuk membaca kalimat di awal cerita, namun ending yang tak diduga ini membuat saya salut dengan penulisnya. Karya sastra telah menemukan jalannya karena menjadi jalan bagi kritik yang tidak bisa tersampaikan lewat media sekitar kita.

Lalu berikutnya ada cerpen dari Diba Azzukhruf yaitu berjudul Mozaik Kebun Ilalang. Kritik sosial yang ingin disampaikan salah satunya adalah pembangunan jalan transportasi darat yang sulit di Pulau Sumatera.

“Aku akan membawa kampung kita menuju perubahan! Kubuka jalan dan kuaspal. Tak perlu lagi bersusah payah naik perahu boat enam jam lamanya untuk sampai ke sini dari Tanjung  Pasir sana.  Atau tak perlu lagi menempuh jalan becek tiga jam lamanya untuk sampai ke Padang Halaban.” (halm 14)

Cerpen berikutnya mengangkat tema AIDS. Kisah yang dijabarkan oleh Aiman Bagea ini berjudul Pita Merah. Sebuah kritik sosial untuk para penghujat AIDS karena mengucilkan pelakunya di lingkungan masyarakat. Menganggapnya sampah tak berguna, meski ia hanya anak kecil tak berdosa.

“Dan kemarin, aku pikir aku akan mati di tangan mereka. Aku pikir aku akan segera bertemu ayah dan ibu di surga. Tetapi nyatanya, Tuhan mengirimkan malaikat penolong untukku. Sungguh, aku sangat senang. Apa itu AIDS? Mengapa mereka menyebut-nyebut AIDS sambil menunjuk-nunjuk padaku, diikuti wajah mereka yang sangat  mengerikan? Apakah sebelumnya aku bernama AIDS? Tapi, kenapa ayah dan ibu memanggilku dengan nama Bayu? AIDS itu siapa? Aku ingin tahu. Sungguh!” (halm 59)

Ada 9 cerpen lainnya yang sangat layak untuk dibaca dan diperbincangkan sebagai pertimbangan bahwa ada dunia yang tak selalu sama dengan yang kita pijak. Ada orang-orang marjinal yang terasing dalam sebuah ruang yang dibentuk oleh masyarakat sehingga nafasnya tak lagi bisa memperjuangkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Penasaran? Must read! ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)

Komunitas